Jumat, 27 November 2015

FILSAFAT PENDIDIKN ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang         
Secara umum, fungsi filsafat adalah meluruskan cara berfikir yang tidak sistematis menjadi sistematis, dan sesuai dengan prosedur logika, baik secara formal maupun materiil sebagaimana ketentuan dalam berlogika. Berpikir logis amat diperlukan dalam memahami agama yang berkaitan dengan teks atau ayat-ayat Al-Qur’an atau Al-Hadits.
Akidah adalah bagian dari ajaran Islam yang mengatur cara berkeyakinan. Pusatnya ialah keyakinan kepada Tuhan. Posisinya dalam keseluruhan ajaran Islam sangat penting karena merupakan fondasi ajaran Islam secara keseluruhan. Di atas akidah itulah, keseluruhan ajaran Islam berdiri dan didirikan. Keterangan seperti ini berlaku juga bagi agama selain Islam. karena kedudukannya, akidah seperti itu, akidah seorang muslim haruslah kuat. Apabila kuat akidah, kuat pula keislamannya secara keseluruhan. Untuk memperkuat akidah, kuat pula hal yang dilakkan. Pertama, mengamalkan keseluruhan ajaran Islam secara sungguh-sungguh. Kedua, mempertajam pengertian ajaran Islam. Jadi, akidah dapat diperkuat dengan pengalaman dan pemahaman ajaran Islam.
Asas untuk membina masyarakat ialah bahwa Allah itu wujud dan Esa. Meyakini utusan-Nya yaitu para Rasul, dan seterusnya. Demikianlah apabila Islam mendirikan masyarakat atas dasar iman dan insan menjadi poros segala perilaku atau perencanaan maka sebenarnya Islam menghargai faedah dan pengaruh iman yang positif baik untuk individu maupun untuk masyarakat. Beriman kepada Allah memberikan seesorang rasa aman damai, percaya pada diri dan orang lain. Percaya harga diri dan kehormatan.[1]
Dapat dipahami bahwa filsafat (dalam hal ini akal logis) berguna untuk memperkuat keimanan. ini menurut sebagian filsuf, seperti Thomas Aquinas; tetapi menurut filsuf lain, seperti Kant, bukti-bukti akliah (dalam arti rasio) tentang adanya Tuhan sebenarnya lemah. Bukti yang kuat adalah suara hati karena suara hati itu memerintah, bahkan rasio pun tidak mampu melawannya.      

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Fungsi filsafat dengan Fiqh, Kalam dan Tasawuf
Secara ringkas, kegunaan filsafat dengan ilmu-ilmu tersebut dapat dilihat dari hubungan ilmu filsafat, baik dengan ilmu fiqh, kalam, maupun tasawuf. Yusuf Qardhawi yang mengutip kitab ma’arijul Al-Quds dan dikutip Supriyadi, menyebutkan, “Ketahuialah bahwa akal tidak akan mendapat petunujk kecuali dengan syara, dan syara tidak akan jelas, kecuali dengan akal. Akal bagaikan landasan, sedangkan syara bagaikan bangunan.” Begitu pula halnya, mengenai hubungan antara syariat (fiqh) dan akidah (ilmu kalam) dan juga hakikat (tasawuf). Dalam kitab Ihya Al-Ulum ad-din, dijelaskan bahwa sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf, orang harus memperdalam ilmu tentang syariat dan akidah (kalam) terlebih dahulu secara tekun dan sempurna. Dalam hal ini, syariat dan ilmu kalam sebagai landasan, sedangkan tasawuf laksana sebuah bangunan.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hubungan dengan ketiga cabang ilmu tersebut bersifat hierarki. Artinya, ilmu fiqh ditopang oleh ilmu filsafat (logika/akal) dan ilmu kalam sebagai “instrumen prosees pemahaman”, begitu pula halnya hubungan ilmu fiqh dengan ilmu tasawuf, didibaratkan sebagai sebuah landasan bangunan[2].
B.     Penjelasan hubungan ilmu filsafat dengan ilmu lain secara komperehensif:
1.      Hubungan fiqh dengan filsafat
Fiqh                 Bukti nyata dari keimanan (Kalam)
Dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-qur'an yang berkenaan dengan hukum diperlukan ijtihad, yaitu suatu usaha dengan mempergunakan akal dan prinsip kelogisan untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum dari sumbernya. mengingat pentingnya ijtihad ini para pakar hukum islam menganggapnya sebagai sumber hukum ketiga, setelah Al-qur'an dan hadis. termasuk dalam ijtihad tersebut adalah Qiyas, yakni menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang lain yang ada nash hukumnya atas dasar persamaan illat (sebab) dalam menentukan persamaan diperlukan pemikiran. Tanpa filsafat, fikih akan kehilangan semangat untuk perubahn, dan fikih dapat menjadi beku, bahkan membelenggu ijtihad.[3]
Jelas terlihat pada masa hidup Al-Ghazali yang tumbuh subur berbagai macam aliran agama dan filsafat sebagaimana ia katakan sebagai berikut:
“...sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar, seperti Socrates, Epicurus, Plato, aristoteles, dan lain-lain... mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan-kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam dan teologi... mereka juga mendengar bahwa filsuf itu mengingkari semua syariat dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf meyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan...”
      Proses adanya hubungan antara fiqh dan filsafat dapat ditelusuri dari pembagian filsafat manurut Al-Ghazali. Ia membagi ilmu-ilmu filsafat menjadi enam bagian, yaitu ilmu pasti,ilmu logika, ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu politik, dan ilmu akhlak. Hubungan itu tampak mengguanakn dasar akalnya. Dalam hal ini, fiqh memasuki wilayah filsafat logika. Di samping itu, pada dasranya Al-Ghazali tidak menyerang semua cabang filsafat tersebut, kecuali filsafat ketuhanan (metafisika), yang para filsuf sangat mengagungkan peranan akal yang “mengalahkan” agama dan syariat sebagaimana dijelaskan dalam kutipan diatas.
      Menurut Al-Ghazali, secara teoritis akal dan syara’ tidak bertentangan secara hakiki karena keduanya merupakan cahaya petunjuk dari Allah SWT. Demikian juga, ditinjau dari segi praktis, tidak ada hakikat agama yang bertentangan dengan hakikat ilmiah. Al Ghazali melihat bahwa satu sama lainnya saling mendukung dan membenarkan. Hal itu terbukti dari ungkapan Al-Ghazali berikut ini:
“... Akal adalah penentu hukum yang tidak dijauhkan ataupun diganti. Akal adalah saksi syara. Akal adalah saksi yang secara murni dan adil mengatakan bahwa dunia adalah kampung tipuan, bukan kampung bahagia...tempat berjual beli, bukan tempat gedung apartemen. Dunia adalah tempat transaksi yang modalnya adalah ketaatan. Ketaatan itu ada dua macam, yaitu amal dan ilmu. Ilmu adalah ketaatan terbaik dan beruntung. Ilmu termasuk salah satu amal, yaitu amlan hati yang merupakan anggota tubuh yang termulia. Ilmu juga merupakan upaya akal yang merupakan benda termulia karena akal adalah sendi agama dan pemikul amanat...”[4]
      Al-ghazali menyerang kaum filsuf dalam kitab Tahafut Al-falasifah, karena mereka berlebihan menggunakan akal, dan menetapka sesuatu tanpa bukti atas nama akal, disamping menafikan sesuatu yang tidak ada dalil-dalil syara yang menafikannya. Bahkan, dalam kitab Al Munqidz min Ad-Dhalal, dijelaskan bahwa orang yang mengingkari pendapat para filsuf, dalam hal gerhana bulan dan matahari, dengan mengatasnamakan agama, dan mengingkari hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pasti yang dianggap cabang filsafat lama, padahal semuanya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan, tidak ada jalan untuk mengingkarinya.
Dari uraian di atas, tampak tidak ada pertentangan antara akal dan syara. Selanjutnya, al-Ghazali menjelakan bahwa akal dan syara masing-masing memiliki keistimewaan, dan memiliki bidang kompetensi yang tidak pernah dilanggarnya. Hubungan antara fiqh dengan filsafat (akal), terlihat ketika Al-Ghazali menjadikan spesifikasi akal dalam menetapkan dua masalah besar dalam filsafat dan masalah terpenting dalam agama (fiqh),.[5]

2.      Hubungan filsafat dengan Akhlak
Akhlak                  puncaknya ibadah (Ilmu Kalam): kondisi psikologis yang kuat (sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan.
Filsafat diambil dari bahasa arab yaitu falsafah, dari bahasa Yunani pilosophia, kata majemuk yang terdiri dari kata philos yang artinya cinta atau suka, dan kata shopia yang artinya bijaksana. Dengan demikian, secara etimologis kata filsafat memberikan pengertian cinta kebijaksanaan. Orangnya disebut pilosopher atau failasuf (istilah failasuf, lihat ibn Mandzur dalam lisan al-Arab). Secara terminologis, filsafat mempunyai arti yang bermacam-macam, sebanyak orang yang memberikan pengertian atau batasan. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan mengunakan pikiran. Bagian-bagiannya meliputi:
a.         Metafisika      : penyelidikan di balik alam nyata
b.        Kosmologia    : penyelidikan tentang alam (filsafat alam)
c.         Logika            : pembahasan tentang cara berpikir cepat dan tepat
d.        Etika              : pembahasan tentang tingkah laku manusia
e.         Theodicea                  : pembahasan tentang ketuhanan
f.         Antropolgi      : pembahasan tentang manusia
Dengan demikian, jelaslah bahwa etika atau akhlak termasuk salah satu komponen dalam filsafat. Banyak ilmu-ilmu yang pada mulanya merupakan bagian filsafat karena ilmu tersebut kian meluas dan bekembang yang pada akhirnya membentuk rumah tangganya sendiri dan terlepas dari filsafat. Demikian juga etika atau akhlak dalam proses perkembangannya, sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, kini telah merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri.
Filsafat sebagaimana diketahui adalah suatu upaya berpikir mendalam, radikal, sampai ke akar-akarnya, universal dan tematik dalam rangka menemukan inti atau hakikat mengenai segala sesuatu. Di dalam filsafat segala sesuatu dibahas untuk ditemukan hakikatnya.
Di antara filsafat objek pemikiran filsafat yang erat kaitannya dengan ilmu akhlak adalah tentang manusia. Para filosof Muslim seperti Ibn Sina (980-1037 M.) dan al-Gazali (1059-1111 M.) memiliki pemikiran tentang manusia sebagaimana terlihat dalam pemikirannya tentang jiwa.
Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibn Sina merupakan petunjuk bahwa dalam pemikiran filsafat terdapat bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep ilmu akhlak.
Pemikiran al-Gazali ini memberikan petunjuk adanya perbedaan cara pendekatan dalam menghadapi seseorang sesuai dengan tingkat dan daya tangkapnya. Pemikiran yang demikian akan membantu dalam merumuskan metode dan pendekatan yang tepat dalam mengajarkan akhlak.
Pemikiran tentang manusia dapat pula kita jumpai pada Ibn Khaldun. Dalam pemikiran Ibn Khaldun tampak bahwa manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan tewujud manakala ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ia menunjukkan tentang perlunya pembinaan manusia, termasuk dalam pembinaan manusia dalam pembinaan akhlaknya.
Manusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subjek kebudayaan dalam pengertian ideal. Gambaran tentang manusia yang terdapat dalam pemikiran filosof itu akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya, berkomunikasi dengannya dan sebagainya. Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang aman dan damai.[6]

3.      Hubungan filsafat islam dengan ilmu kalam
bagaimana sifat-sifat Allah bisa menjadi karakter manusia. Berfikir dengan berbagai sudut pandang, mendalam dalam proses mendewasakan manusia.
Kalam dalam bahasa Arab dapat diartikan dengan perkataan dan ucapan. Dalam ilmu kebahasaan, kalam ialah kata-kata yang tersusun dalam suatu kalimat yang mempunyai arti. Sementara dalam ilmu agama, yang dimaksud dengan kalam adalah firman Allah. Kemudian kata ini menunjukkan suatu ilmu yang berdiri sendiri, yang disebut dengan ilmu kalam. Diantara alasan yang dimajukan, ialah sebagai berikut.
a.       Persoalan terpenting yang menjadi pembicaraan di abad-abad permulaan hijriah ialah firman Allah Alqur’an sebagai salah satu sifatNya, apakah kadim, tidak diciptakan, atau hadits (baru), diciptakan? (harap dibedakan kata hadits lawan dari kadim, dengan hadits: perkara, ucapan, ketetapan dan sifat Nabi Muhammad Saw).
b.      Dasar-dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil akal (rasio). Kaum teolog atau mutakallimin menetapkan pokok persoalan dengan mengemukakakan dalil akal terlebih dahulu, setelah tuntas baru mereka kembali pada dalil naqli (Al-quran dan Haddits).
c.       Cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai ilmu logika dan filsafat.
Dengan demikian ilmu kalam merupakan salah satu ilmu keislaman yang timbul dari hasil diskusi umat islam dalam merumuskan kaidah Islam dengan menggunakan dalil akal dan filsafat. Atas dasar-dasar pemikiran di atas itulah, di antara penulis-penulis islam seperti Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya, Renan dalam bukunya Ibnu Rusyd wa al-Rusydiyah memasukkan ilmu kalam ke dalam ruang lingkup Filsafat Islam. Hal ini disebabkan mereka melihat bahwa antar kedua disiplin ilmu keislaman ini terdapat hubungan yang sangat erat dan masalah-masalah yang dibicarakan antara keduanya sudah bercampur sehingga sulit dibedakan.
Filsafat Islam:
Mengandalkan akal dalam mengkaji    objeknya Allah, alam dan manusia. tanpa terikat dengan pendapat  yang ada (pemikiran-pemikiran yang sama sifatnya, hanya berfungsi sebatas masukan dan relatif). nash-nash agama hanya sebagai bukti untuk membenarkan hasil temuan akal.
Ilmu Kalam:
Mengambil dalil aqidah sebagai tertera dalam wahyu yang mutlak kebenarannya untuk menguji objeknya Allah dan sifat-sifatNya, serta hubungan Allah dengan alam dan manusia sebagai tertuang dalam kitab suci, menjadikan filsafat sebagai alat untuk membenarkan nash agama.
Walaupun objek dan metode kedua ilmu ini berbeda tapi saling melengkapi dalam memahami Islam dan pembentukan aqidah muslim.[7]

4.      Hubungan Ilmu Kalam dengan Fiqh
Menurut Abu Hanifah hokum islam (Fikih) terbagi kedalam dua yaitu Fiqih Al-akbar dan Fiqih Al-Asghar, Fiqih al-Akbar merupakan keyakinan, pokok agama, ketauhidan sedangkan fiqih al-Asghar adalah cabang agama berupa cara-cara beribadah seperti muamalah. Dari pendapat Abu Hanifah bahwa adanya hubungan antara ilmu kalam dengan fiqih. Ilmu kalam membahas soal-soal dasar dan pokok, pandangan lebih luas, tinjauan dapat memberi sikap toleran, member keyakinan yang mendalam berdasarkan pada landasan yang kuat sedangkan Fiqh membahas soa furu’ atau cabang dan ranting, pandangannyapun lebih detai dan rinci.
Dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan hokum diperlukan ijtihad yaitu suatu usaha dengan mempergunakan akal dan prinsip kelogisan untuk mengeluarkan ketentuan hokum dari sumbernya. Misalnya adalah qiyas yaitu menyamakan hokum sesuatu yang tidak ada nask hukumnya dengan hokum sesuatu yang lain atas dasar persamaan illat. Dalam menentukan persamaan diperlukan pemikiran. Artinya, pertimbangan akal diniai lebih baik bagi kehidupan masyarakat dan perorangan. Aliran-aliran teologi dalam islam semuanya memakai akal dalam menyelesaikan persoalan teologinya dan berpedoman kepada wahyu, yang membedakannya yatu dalam derajat kekuataan yang diberikan kepada akal dan dalam interpretasi mengenai teks al-Quran dan Hadits.
Teolog yang berpendapat akal memiliki daya yang kuat memberi interpretasi yang liberal mengenai teks ayat al-Quran dan hadits (terikat ayat qath’i) sehingga dinamakan teologi liberal yang bebas berkehendak (contoh:mu’tazilah) yang berpegang teguh pada logika namun sukar ditangkap golongan awam dan Teolog yang berpendapat akal memiliki daya yang lemah memberi interpretasi harfi/dekat mengenai teks ayat al-Quran dan hadits (terikat ayat zanni) sehingga dinamakan teologi tradisional yang terbatas dalam berkehendak (contoh: as’ariyah) yang berpegang pada arti harfi dan kurang menggunakan logika namun mudah diterima kaum awam. Begitupun madzhab-madzhab dalam fiqih adanya perbedaan dikarenakan kemampuan akal dalam menginterpretasikan teks Al-Quran dan Hadits.
Ilmu tasawuf dan ilmu fiqih adalah dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya, dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin ilmu sangat beragam sesuai dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini dapat dipahami bahwa ilmu fiqih, yang terkesan sangat formalistic-lahiriah, menjadi sangat kering atau kaku dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran rohaniah yang dimiliki oleh tasawuf. Begitu juga sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap merasa suci sehingga tidak perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yag diatur dalam fiqih.
Keterkaitan antara ilmu fiqih dengan ilmu tasawuf :
1.      Ilmu tasawuf mampu menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan hukum-hukum fiqih.
2.      Ilmu fiqih merupakan jembatan yang harus dilalui oleh seseorang yang ingin mendalami ajaran tasawuf.
3.      Tasawuf dan fiqih merupakan dua disiplin ilmu yang saling menyempurnakan.[8]

5.      Hubungan Ilmu Kalam dengan Akhlak
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam tuhan. Persoalan kalam membahas secara mendalam dengan mengemukakan argumentasi, baik secara aqli maupun naqli.
Ilmu tauhid merupakan pokok ajaran syari’at islam, karena didalamnya dibahas masalah ketuhanan. Seseorang tidak dinamakan beragama kalau tidak bertuhan. Masalah ketuhanan atau ilahiyat adalah masalah yang pertama harus dipelajari oleh orang yang mengaku menganut suatu agama.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaan kalam. Penghayatan yang mendalam melalui hati terhadap ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan ilmu tasawuf lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurna ilmu tauhid jika dilihat dari sudut pandang bahwa ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniah dari ilmu tauhid. Selain itu, ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan ilmu kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional dan muatan naqliah. Jika tidak di imbangi oleh kesadaran rohaniah ilmu kalam dapat bergerak kearah yang lebih liberal dan bebas. Disinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu kalam tidak dikesani sebagai dialektika keislaman belaka yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qalbiyah(hati)[9]
6.      Hubungan Fiqh dengan Akhlak
Pengertian ilmu Akhlak adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia sebagai gejala yang tampak dan dijadikan bahan kajian dalam melihat keadaan kejiwaan manusia yang sesungguhnya berhubungan erat dengan psikologi. Menurut Imam al-Ghazali akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Menurut Hamzah Ya’qub, secara terminologis ilmu akhlak adalah:
a.       Ilmu yang menentukan batas antara yang baik dan buruk, antara yang terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin;
b.      Ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang biak dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia, dan menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka.

Jadi, ilmu Akhlak adalah ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku manusia sebagai gejala yang tampak yang meliputi penerapannya kepada manusia dan juga ilmu pengetahuan, yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk suatu perbuatan manusia.

       Ilmu fiqh tidak bisa dipisahkan dari ilmu akhlak, meskipun keduanya bisa dibedakan, tetapi keduanya saling terkait.Pemisahan ilmu fiqh dari ilmu Akhlak secara tajam akan mengakibatkan ilmu fiqh kehilangan keindahannya.Tanpa ilmu Akhlak, ilmu fiqh hanya merupakan bangunan yang kosong, sunyi dan tidak membawa kepada ketentraman dan ketenangan hati.Juga sebaliknya ilmu Akhlak tanpa ilmu fiqh dalam artinya yang luas akan menyimpang dari ketentuan-ketentuan syari’ah.Pada gilirannya penyimpangan-penyimpangan ini sulit untuk bisa dipertanggungjawabkan.Untuk menggambarkan bagaimana eratnya hubungan antara ilmu fiqh dengan ilmu akhlak bisa dijelaskan dengan contoh sebagai berikut.
Kita mendapatkan perintah dari Allah untuk melakukan shalat.Rasulullah SAW bersabda:
Hal pertama yang diwajibkan oleh Allah SWT atas umatku adalah sholat lima waktu, hal pertama yang diangkat dari amalan-amalan mereka adalah shalat lima waktu dan hal pertama yang dipertanyakan kepada mereka adalah shalat lima waktu.” (Kanzul ‘Ummal, jilid, hadits 18859).

Cara-cara sholat ditentukan di dalam hadits, kemudian dibahas oleh para Fuqaha tentang rukun shalat, syarat-syarat sahnya sholat dan hukum-hukumnya yang diambil dan dipahami dari Al-Qur’an dan hadits-hadits yang banyak sekali tentang shalat dan yang berhubungan dengan shalat. Di samping itu kita pun mendapat perintah untuk menerapkan akhlak terpuji di dalam ibadah yaitu:
a.       Khusyu dalam melaksanakan sholat
Kekhusyuan sangat diperlukan dalam beribadah karena khusyu’ dalam shalat, berarti seorang muslim dapat memaksimalkan komunikasinya dengan Allah SWT untuk menyenangkan dan mencapai ridho-Nya sebagai wujud rasa syukur pada-Nya yang telah menciptakan umat manusia, memelihara dan member kesempatan untuk hidup dan menikmati karunia-Nya.
b.      Tidak riya dalam melaksanakan ibadah
Riya ialah melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah SWT akan tetappi untuk mencari pujian atau kemasyuran di masyarakat.
c.       Tidak melalaikan shalat
Lalai berarti mengabaikan shalat, diantaranya adalah wudhu yang tidak sempurna, gerakan shalat (rukuk, sujud dan lain-lain yang tidak sempurna), meng-akhirkan shalat (tidak meng-awalkannya) tanpa alas an yang dapat diterima.Orang yang lalai dalam shalatnya maka ia akan celaka.[10]


C.     Penutup
kegunaan filsafat dengan ilmu-ilmu tersebut dapat dilihat dari hubungan ilmu filsafat, baik dengan ilmu fiqh, kalam, maupun tasawuf. Yusuf Qardhawi yang mengutip kitab ma’arijul Al-Quds dan dikutip Supriyadi, menyebutkan, “Ketahuialah bahwa akal tidak akan mendapat petunujk kecuali dengan syara, dan syara tidak akan jelas, kecuali dengan akal.
Akal bagaikan landasan, sedangkan syara bagaikan bangunan.” Begitu pula halnya, mengenai hubungan antara syariat (fiqh) dan akidah (ilmu kalam) dan juga hakikat (tasawuf). Dalam kitab Ihya Al-Ulum ad-din, dijelaskan bahwa sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf, orang harus memperdalam ilmu tentang syariat dan akidah (kalam) terlebih dahulu secara tekun dan sempurna. Dalam hal ini, syariat dan ilmu kalam sebagai landasan, sedangkan tasawuf laksana sebuah bangunan.



DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan.ilmu tasawuf. bandung: pustaka setia, 2007.
Bakry, Oemar. Akhlak Muslim. Bandung: Angkasa Bandung, 1993.

Nasution, Harun.Falsafat dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1978.
Nata,Abuddin.Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo, 1997.
Suhendi, Hendi.Perspektif Filsafat Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 1999.
Supriyadi,Dedi.Pengantar Filsafat ISLAM (lanjutan) Teori dan Praktik. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2010.
Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy Al-. Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1979.




[1] Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam  (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 179.
[2]Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat ISLAM (lanjutan) Teori dan Praktik, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), 136.
[3]Hendi Suhendi, Perspektif Filsafat Islam (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1999), 223.
[4]Ibid.
[5]Ibid., 138.
[6]Oemar, Bakry,  Akhlak Muslim (Bandung: Angkasa Bandung, 1999), 63.

[7]Ibid., 6.
[8]Rosihan Anwar, ilmu tasawuf (bandung: pustaka setia, 2007), 91-92.
[9]Anwar, ilmu, 88.
[10]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1997), 179-180.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar