BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Secara umum, fungsi filsafat adalah
meluruskan cara berfikir yang tidak sistematis menjadi sistematis, dan sesuai
dengan prosedur logika, baik secara formal maupun materiil sebagaimana
ketentuan dalam berlogika. Berpikir logis amat diperlukan dalam memahami agama
yang berkaitan dengan teks atau ayat-ayat Al-Qur’an atau Al-Hadits.
Akidah adalah bagian dari ajaran
Islam yang mengatur cara berkeyakinan. Pusatnya ialah keyakinan kepada Tuhan.
Posisinya dalam keseluruhan ajaran Islam sangat penting karena merupakan
fondasi ajaran Islam secara keseluruhan. Di atas akidah itulah, keseluruhan
ajaran Islam berdiri dan didirikan. Keterangan seperti ini berlaku juga bagi
agama selain Islam. karena kedudukannya, akidah seperti itu, akidah seorang
muslim haruslah kuat. Apabila kuat akidah, kuat pula keislamannya secara
keseluruhan. Untuk memperkuat akidah, kuat pula hal yang dilakkan. Pertama,
mengamalkan keseluruhan ajaran Islam secara sungguh-sungguh. Kedua, mempertajam
pengertian ajaran Islam. Jadi, akidah dapat diperkuat dengan pengalaman dan
pemahaman ajaran Islam.
Asas untuk membina masyarakat ialah
bahwa Allah itu wujud dan Esa. Meyakini utusan-Nya yaitu para Rasul, dan
seterusnya. Demikianlah apabila Islam mendirikan masyarakat atas dasar iman dan
insan menjadi poros segala perilaku atau perencanaan maka sebenarnya Islam
menghargai faedah dan pengaruh iman yang positif baik untuk individu maupun
untuk masyarakat. Beriman kepada Allah memberikan seesorang rasa aman damai, percaya
pada diri dan orang lain. Percaya harga diri dan kehormatan.[1]
Dapat dipahami bahwa filsafat (dalam
hal ini akal logis) berguna untuk memperkuat keimanan. ini menurut sebagian
filsuf, seperti Thomas Aquinas; tetapi menurut filsuf lain, seperti Kant, bukti-bukti
akliah (dalam arti rasio) tentang adanya Tuhan sebenarnya lemah. Bukti yang
kuat adalah suara hati karena suara hati itu memerintah, bahkan rasio pun tidak
mampu melawannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Fungsi filsafat
dengan Fiqh, Kalam dan Tasawuf
Secara ringkas, kegunaan filsafat
dengan ilmu-ilmu tersebut dapat dilihat dari hubungan ilmu filsafat, baik
dengan ilmu fiqh, kalam, maupun tasawuf. Yusuf Qardhawi yang mengutip kitab ma’arijul
Al-Quds dan dikutip Supriyadi, menyebutkan, “Ketahuialah bahwa akal tidak
akan mendapat petunujk kecuali dengan syara, dan syara tidak akan jelas,
kecuali dengan akal. Akal bagaikan landasan, sedangkan syara bagaikan
bangunan.” Begitu pula halnya, mengenai hubungan antara syariat (fiqh) dan
akidah (ilmu kalam) dan juga hakikat (tasawuf). Dalam kitab Ihya Al-Ulum
ad-din, dijelaskan bahwa sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf, orang
harus memperdalam ilmu tentang syariat dan akidah (kalam) terlebih dahulu
secara tekun dan sempurna. Dalam hal ini, syariat dan ilmu kalam sebagai
landasan, sedangkan tasawuf laksana sebuah bangunan.
Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa hubungan dengan ketiga cabang ilmu tersebut bersifat hierarki. Artinya,
ilmu fiqh ditopang oleh ilmu filsafat (logika/akal) dan ilmu kalam sebagai “instrumen
prosees pemahaman”, begitu pula halnya hubungan ilmu fiqh dengan ilmu tasawuf,
didibaratkan sebagai sebuah landasan bangunan[2].
B.
Penjelasan
hubungan ilmu filsafat dengan ilmu lain secara komperehensif:
1.
Hubungan fiqh
dengan filsafat
Fiqh Bukti
nyata dari keimanan (Kalam)
Dalam memahami dan menafsirkan
ayat-ayat Al-qur'an yang berkenaan dengan hukum diperlukan ijtihad, yaitu suatu
usaha dengan mempergunakan akal dan prinsip kelogisan untuk mengeluarkan
ketentuan-ketentuan hukum dari sumbernya. mengingat pentingnya ijtihad ini para
pakar hukum islam menganggapnya sebagai sumber hukum ketiga, setelah Al-qur'an
dan hadis. termasuk dalam ijtihad tersebut adalah Qiyas, yakni menyamakan hukum
sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang lain yang ada nash
hukumnya atas dasar persamaan illat (sebab) dalam menentukan persamaan
diperlukan pemikiran. Tanpa filsafat,
fikih akan kehilangan semangat untuk perubahn, dan fikih dapat menjadi beku,
bahkan membelenggu ijtihad.[3]
Jelas terlihat pada masa hidup Al-Ghazali yang tumbuh subur
berbagai macam aliran agama dan filsafat sebagaimana ia katakan sebagai
berikut:
“...sumber
kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar,
seperti Socrates, Epicurus, Plato, aristoteles, dan lain-lain... mereka
mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan
intelektualitas dan kebaikan-kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para
filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam dan teologi... mereka juga mendengar
bahwa filsuf itu mengingkari semua syariat dan agama, tidak percaya pada
dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf meyakini bahwa agama adalah
ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan...”
Proses adanya hubungan antara fiqh dan
filsafat dapat ditelusuri dari pembagian filsafat manurut Al-Ghazali. Ia
membagi ilmu-ilmu filsafat menjadi enam bagian, yaitu ilmu pasti,ilmu logika,
ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu politik, dan ilmu akhlak. Hubungan itu tampak
mengguanakn dasar akalnya. Dalam hal ini, fiqh memasuki wilayah filsafat
logika. Di samping itu, pada dasranya Al-Ghazali tidak menyerang semua cabang
filsafat tersebut, kecuali filsafat ketuhanan (metafisika), yang para filsuf
sangat mengagungkan peranan akal yang “mengalahkan” agama dan syariat
sebagaimana dijelaskan dalam kutipan diatas.
Menurut Al-Ghazali, secara teoritis akal
dan syara’ tidak bertentangan secara hakiki karena keduanya merupakan cahaya
petunjuk dari Allah SWT. Demikian juga, ditinjau dari segi praktis, tidak ada
hakikat agama yang bertentangan dengan hakikat ilmiah. Al Ghazali melihat bahwa
satu sama lainnya saling mendukung dan membenarkan. Hal itu terbukti dari
ungkapan Al-Ghazali berikut ini:
“...
Akal adalah penentu hukum yang tidak dijauhkan ataupun diganti. Akal adalah
saksi syara. Akal adalah saksi yang secara murni dan adil mengatakan bahwa
dunia adalah kampung tipuan, bukan kampung bahagia...tempat berjual beli, bukan
tempat gedung apartemen. Dunia adalah tempat transaksi yang modalnya adalah
ketaatan. Ketaatan itu ada dua macam, yaitu amal dan ilmu. Ilmu adalah ketaatan
terbaik dan beruntung. Ilmu termasuk salah satu amal, yaitu amlan hati yang
merupakan anggota tubuh yang termulia. Ilmu juga merupakan upaya akal yang
merupakan benda termulia karena akal adalah sendi agama dan pemikul amanat...”[4]
Al-ghazali menyerang kaum filsuf dalam
kitab Tahafut Al-falasifah, karena mereka berlebihan menggunakan akal,
dan menetapka sesuatu tanpa bukti atas nama akal, disamping menafikan sesuatu
yang tidak ada dalil-dalil syara yang menafikannya. Bahkan, dalam kitab Al
Munqidz min Ad-Dhalal, dijelaskan bahwa orang yang mengingkari pendapat
para filsuf, dalam hal gerhana bulan dan matahari, dengan mengatasnamakan
agama, dan mengingkari hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pasti yang dianggap
cabang filsafat lama, padahal semuanya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan,
tidak ada jalan untuk mengingkarinya.
Dari
uraian di atas, tampak tidak ada pertentangan antara akal dan syara.
Selanjutnya, al-Ghazali menjelakan bahwa akal dan syara masing-masing memiliki
keistimewaan, dan memiliki bidang kompetensi yang tidak pernah dilanggarnya.
Hubungan antara fiqh dengan filsafat (akal), terlihat ketika Al-Ghazali
menjadikan spesifikasi akal dalam menetapkan dua masalah besar dalam filsafat
dan masalah terpenting dalam agama (fiqh),.[5]
2.
Hubungan
filsafat dengan Akhlak
Akhlak puncaknya ibadah (Ilmu Kalam):
kondisi psikologis yang kuat (sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan.
Filsafat diambil dari bahasa arab yaitu falsafah,
dari bahasa Yunani pilosophia, kata
majemuk yang terdiri dari kata philos
yang artinya cinta atau suka, dan kata shopia
yang artinya bijaksana. Dengan demikian, secara etimologis kata filsafat
memberikan pengertian cinta kebijaksanaan. Orangnya disebut pilosopher atau failasuf (istilah failasuf, lihat ibn Mandzur dalam lisan al-Arab).
Secara terminologis, filsafat mempunyai arti yang bermacam-macam, sebanyak
orang yang memberikan pengertian atau batasan. Filsafat adalah ilmu pengetahuan
yang berusaha menyelidiki segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan
mengunakan pikiran. Bagian-bagiannya meliputi:
a. Metafisika : penyelidikan di balik alam nyata
b. Kosmologia : penyelidikan tentang alam (filsafat alam)
c. Logika : pembahasan tentang cara berpikir
cepat dan tepat
d. Etika : pembahasan tentang tingkah laku
manusia
e. Theodicea : pembahasan tentang ketuhanan
f. Antropolgi : pembahasan tentang manusia
Dengan demikian, jelaslah bahwa etika atau akhlak termasuk salah satu
komponen dalam filsafat. Banyak ilmu-ilmu yang pada mulanya merupakan bagian
filsafat karena ilmu tersebut kian meluas dan bekembang yang pada akhirnya
membentuk rumah tangganya sendiri dan terlepas dari filsafat. Demikian juga etika
atau akhlak dalam proses perkembangannya, sekalipun masih diakui sebagai bagian
dalam pembahasan filsafat, kini telah merupakan ilmu yang mempunyai identitas
sendiri.
Filsafat sebagaimana diketahui adalah suatu upaya
berpikir mendalam, radikal, sampai ke akar-akarnya, universal dan tematik dalam
rangka menemukan inti atau hakikat mengenai segala sesuatu. Di dalam filsafat
segala sesuatu dibahas untuk ditemukan hakikatnya.
Di antara filsafat objek pemikiran filsafat yang erat kaitannya dengan ilmu
akhlak adalah tentang manusia. Para filosof Muslim seperti Ibn Sina (980-1037
M.) dan al-Gazali (1059-1111 M.) memiliki pemikiran tentang manusia sebagaimana
terlihat dalam pemikirannya tentang jiwa.
Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibn Sina merupakan
petunjuk bahwa dalam pemikiran filsafat terdapat bahan-bahan atau sumber yang
dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep ilmu akhlak.
Pemikiran al-Gazali ini memberikan petunjuk adanya perbedaan cara
pendekatan dalam menghadapi seseorang sesuai dengan tingkat dan daya
tangkapnya. Pemikiran yang demikian akan membantu dalam merumuskan metode dan
pendekatan yang tepat dalam mengajarkan akhlak.
Pemikiran tentang manusia dapat pula kita jumpai pada
Ibn Khaldun. Dalam pemikiran Ibn Khaldun tampak bahwa manusia adalah makhluk
budaya yang kesempurnaannya baru akan tewujud manakala ia berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya. Ia menunjukkan tentang perlunya pembinaan manusia,
termasuk dalam pembinaan manusia dalam pembinaan akhlaknya.
Manusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan
diri sebagai subjek kebudayaan dalam pengertian ideal. Gambaran tentang manusia
yang terdapat dalam pemikiran filosof itu akan memberikan masukan yang amat
berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia,
memperlakukannya, berkomunikasi dengannya dan sebagainya. Dengan cara demikian
akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan
yang aman dan damai.[6]
3.
Hubungan filsafat islam dengan ilmu kalam
bagaimana
sifat-sifat Allah bisa menjadi karakter manusia. Berfikir dengan berbagai sudut
pandang, mendalam dalam proses mendewasakan manusia.
Kalam dalam bahasa Arab
dapat diartikan dengan perkataan dan ucapan. Dalam ilmu kebahasaan, kalam ialah
kata-kata yang tersusun dalam suatu kalimat yang mempunyai arti. Sementara
dalam ilmu agama, yang dimaksud dengan kalam adalah firman Allah. Kemudian kata
ini menunjukkan suatu ilmu yang berdiri sendiri, yang disebut dengan ilmu
kalam. Diantara alasan yang dimajukan, ialah sebagai berikut.
a. Persoalan terpenting yang menjadi pembicaraan di abad-abad permulaan
hijriah ialah firman Allah Alqur’an sebagai salah satu sifatNya, apakah kadim,
tidak diciptakan, atau hadits (baru), diciptakan? (harap dibedakan kata hadits
lawan dari kadim, dengan hadits: perkara, ucapan, ketetapan dan sifat Nabi
Muhammad Saw).
b. Dasar-dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil akal (rasio). Kaum teolog atau
mutakallimin menetapkan pokok persoalan dengan mengemukakakan dalil akal
terlebih dahulu, setelah tuntas baru mereka kembali pada dalil naqli (Al-quran
dan Haddits).
c. Cara pembuktian kepercayaan-kepercayaan agama menyerupai ilmu logika dan
filsafat.
Dengan demikian ilmu
kalam merupakan salah satu ilmu keislaman yang timbul dari hasil diskusi umat
islam dalam merumuskan kaidah Islam dengan menggunakan dalil akal dan filsafat.
Atas dasar-dasar pemikiran di atas itulah, di antara penulis-penulis islam
seperti Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya, Renan dalam bukunya Ibnu
Rusyd wa al-Rusydiyah memasukkan ilmu kalam ke dalam ruang lingkup Filsafat
Islam. Hal ini disebabkan mereka melihat bahwa antar kedua disiplin ilmu
keislaman ini terdapat hubungan yang sangat erat dan masalah-masalah yang
dibicarakan antara keduanya sudah bercampur sehingga sulit dibedakan.
Filsafat Islam:
Mengandalkan akal dalam
mengkaji objeknya Allah, alam dan manusia. tanpa terikat
dengan pendapat yang ada (pemikiran-pemikiran yang sama sifatnya, hanya
berfungsi sebatas masukan dan relatif). nash-nash agama hanya sebagai bukti
untuk membenarkan hasil temuan akal.
Ilmu Kalam:
Mengambil dalil aqidah sebagai
tertera dalam wahyu yang mutlak kebenarannya untuk menguji objeknya Allah dan
sifat-sifatNya, serta hubungan Allah dengan alam dan manusia sebagai tertuang
dalam kitab suci, menjadikan filsafat sebagai alat untuk membenarkan nash
agama.
Walaupun objek dan metode kedua ilmu ini berbeda tapi
saling melengkapi dalam memahami Islam dan pembentukan aqidah muslim.[7]
4.
Hubungan Ilmu Kalam dengan Fiqh
Menurut
Abu Hanifah hokum islam (Fikih) terbagi kedalam dua yaitu Fiqih Al-akbar dan
Fiqih Al-Asghar, Fiqih al-Akbar merupakan keyakinan, pokok agama, ketauhidan
sedangkan fiqih al-Asghar adalah cabang agama berupa cara-cara beribadah
seperti muamalah. Dari pendapat Abu Hanifah bahwa adanya hubungan antara ilmu
kalam dengan fiqih. Ilmu kalam membahas soal-soal dasar dan pokok, pandangan
lebih luas, tinjauan dapat memberi sikap toleran, member keyakinan yang
mendalam berdasarkan pada landasan yang kuat sedangkan Fiqh membahas soa furu’
atau cabang dan ranting, pandangannyapun lebih detai dan rinci.
Dalam
memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan hokum
diperlukan ijtihad yaitu suatu usaha dengan mempergunakan akal dan prinsip
kelogisan untuk mengeluarkan ketentuan hokum dari sumbernya. Misalnya adalah
qiyas yaitu menyamakan hokum sesuatu yang tidak ada nask hukumnya dengan hokum
sesuatu yang lain atas dasar persamaan illat. Dalam menentukan persamaan
diperlukan pemikiran. Artinya, pertimbangan akal diniai lebih baik bagi kehidupan
masyarakat dan perorangan. Aliran-aliran teologi dalam islam semuanya memakai
akal dalam menyelesaikan persoalan teologinya dan berpedoman kepada wahyu, yang
membedakannya yatu dalam derajat kekuataan yang diberikan kepada akal dan dalam
interpretasi mengenai teks al-Quran dan Hadits.
Teolog
yang berpendapat akal memiliki daya yang kuat memberi interpretasi yang liberal
mengenai teks ayat al-Quran dan hadits (terikat ayat qath’i) sehingga dinamakan
teologi liberal yang bebas berkehendak (contoh:mu’tazilah) yang berpegang teguh
pada logika namun sukar ditangkap golongan awam dan Teolog yang berpendapat
akal memiliki daya yang lemah memberi interpretasi harfi/dekat mengenai teks
ayat al-Quran dan hadits (terikat ayat zanni) sehingga dinamakan teologi
tradisional yang terbatas dalam berkehendak (contoh: as’ariyah) yang berpegang
pada arti harfi dan kurang menggunakan logika namun mudah diterima kaum awam.
Begitupun madzhab-madzhab dalam fiqih adanya perbedaan dikarenakan kemampuan
akal dalam menginterpretasikan teks Al-Quran dan Hadits.
Ilmu tasawuf dan ilmu fiqih adalah
dua disiplin ilmu yang saling melengkapi. Setiap orang harus menempuh keduanya,
dengan catatan bahwa kebutuhan perseorangan terhadap kedua disiplin ilmu sangat
beragam sesuai dengan kadar kualitas ilmunya. Dari sini dapat dipahami bahwa
ilmu fiqih, yang terkesan sangat formalistic-lahiriah, menjadi sangat kering
atau kaku dan tidak mempunyai makna bagi penghambaan seseorang jika tidak diisi
dengan muatan kesadaran rohaniah yang dimiliki oleh tasawuf. Begitu juga
sebaliknya, tasawuf akan terhindar dari sikap-sikap merasa suci sehingga tidak
perlu lagi memperhatikan kesucian lahir yag diatur dalam fiqih.
Keterkaitan antara ilmu fiqih dengan
ilmu tasawuf :
1.
Ilmu tasawuf mampu menumbuhkan kesiapan manusia untuk melaksanakan
hukum-hukum fiqih.
2. Ilmu fiqih merupakan jembatan yang
harus dilalui oleh seseorang yang ingin mendalami ajaran tasawuf.
3. Tasawuf dan fiqih merupakan dua
disiplin ilmu yang saling menyempurnakan.[8]
5. Hubungan Ilmu Kalam dengan Akhlak
Ilmu
kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan
tentang persoalan-persoalan kalam tuhan. Persoalan kalam membahas secara
mendalam dengan mengemukakan argumentasi, baik secara aqli maupun naqli.
Ilmu
tauhid merupakan pokok ajaran syari’at islam, karena didalamnya dibahas masalah
ketuhanan. Seseorang tidak dinamakan beragama kalau tidak bertuhan. Masalah
ketuhanan atau ilahiyat adalah masalah yang pertama harus dipelajari oleh orang
yang mengaku menganut suatu agama.
Dalam
kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai pemberi wawasan
spiritual dalam pemahaan kalam. Penghayatan yang mendalam melalui hati terhadap
ilmu tauhid atau ilmu kalam menjadikan ilmu tasawuf lebih terhayati atau
teraplikasikan dalam perilaku. Dengan demikian, ilmu tasawuf merupakan
penyempurna ilmu tauhid jika dilihat dari sudut pandang bahwa ilmu tasawuf
merupakan sisi terapan rohaniah dari ilmu tauhid. Selain itu, ilmu tasawuf
mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan ilmu kalam.
Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia islam cenderung menjadi
sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional dan muatan naqliah. Jika tidak di
imbangi oleh kesadaran rohaniah ilmu kalam dapat bergerak kearah yang lebih
liberal dan bebas. Disinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah
sehingga ilmu kalam tidak dikesani sebagai dialektika keislaman belaka yang
kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qalbiyah(hati)[9]
6.
Hubungan Fiqh dengan Akhlak
Pengertian ilmu Akhlak adalah ilmu
yang mempelajari tentang tingkah laku manusia sebagai gejala yang tampak dan
dijadikan bahan kajian dalam melihat keadaan kejiwaan manusia yang sesungguhnya
berhubungan erat dengan psikologi. Menurut Imam al-Ghazali akhlak adalah sifat
yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang
dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Menurut Hamzah Ya’qub, secara terminologis ilmu akhlak
adalah:
a.
Ilmu yang menentukan batas antara yang baik dan buruk,
antara yang terpuji dan tercela, tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir
dan batin;
b.
Ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang
biak dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia, dan menyatakan tujuan
mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka.
Jadi, ilmu Akhlak adalah ilmu yang
mempelajari tentang tingkah laku manusia sebagai gejala yang tampak yang
meliputi penerapannya kepada manusia dan juga ilmu pengetahuan, yang memberikan
pengertian tentang baik dan buruk suatu perbuatan manusia.
Ilmu fiqh tidak
bisa dipisahkan dari ilmu akhlak, meskipun keduanya bisa dibedakan, tetapi
keduanya saling terkait.Pemisahan ilmu fiqh dari ilmu Akhlak secara tajam akan
mengakibatkan ilmu fiqh kehilangan keindahannya.Tanpa ilmu Akhlak, ilmu fiqh
hanya merupakan bangunan yang kosong, sunyi dan tidak membawa kepada
ketentraman dan ketenangan hati.Juga sebaliknya ilmu Akhlak tanpa ilmu fiqh
dalam artinya yang luas akan menyimpang dari ketentuan-ketentuan syari’ah.Pada
gilirannya penyimpangan-penyimpangan ini sulit untuk bisa
dipertanggungjawabkan.Untuk menggambarkan bagaimana eratnya hubungan antara
ilmu fiqh dengan ilmu akhlak bisa dijelaskan dengan contoh sebagai berikut.
Kita mendapatkan perintah dari Allah untuk melakukan
shalat.Rasulullah SAW bersabda:
“Hal pertama yang
diwajibkan oleh Allah SWT atas umatku adalah sholat lima waktu, hal pertama
yang diangkat dari amalan-amalan mereka adalah shalat lima waktu dan hal
pertama yang dipertanyakan kepada mereka adalah shalat lima waktu.” (Kanzul
‘Ummal, jilid, hadits 18859).
Cara-cara sholat ditentukan di dalam hadits, kemudian dibahas oleh para
Fuqaha tentang rukun shalat, syarat-syarat sahnya sholat dan hukum-hukumnya
yang diambil dan dipahami dari Al-Qur’an dan hadits-hadits yang banyak sekali
tentang shalat dan yang berhubungan dengan shalat. Di samping itu kita pun
mendapat perintah untuk menerapkan akhlak terpuji di dalam ibadah yaitu:
a.
Khusyu dalam melaksanakan sholat
Kekhusyuan sangat diperlukan dalam
beribadah karena khusyu’ dalam shalat, berarti seorang muslim dapat
memaksimalkan komunikasinya dengan Allah SWT untuk menyenangkan dan mencapai
ridho-Nya sebagai wujud rasa syukur pada-Nya yang telah menciptakan umat
manusia, memelihara dan member kesempatan untuk hidup dan menikmati karunia-Nya.
b.
Tidak riya dalam melaksanakan ibadah
Riya ialah melakukan sesuatu amal
perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah SWT akan tetappi untuk mencari
pujian atau kemasyuran di masyarakat.
c.
Tidak melalaikan shalat
Lalai berarti mengabaikan shalat, diantaranya adalah
wudhu yang tidak sempurna, gerakan shalat (rukuk, sujud dan lain-lain yang
tidak sempurna), meng-akhirkan shalat (tidak meng-awalkannya) tanpa alas an
yang dapat diterima.Orang yang lalai dalam shalatnya maka ia akan celaka.[10]
C.
Penutup
kegunaan filsafat dengan ilmu-ilmu
tersebut dapat dilihat dari hubungan ilmu filsafat, baik dengan ilmu fiqh,
kalam, maupun tasawuf. Yusuf Qardhawi yang mengutip kitab ma’arijul Al-Quds dan
dikutip Supriyadi, menyebutkan, “Ketahuialah bahwa akal tidak akan mendapat
petunujk kecuali dengan syara, dan syara tidak akan jelas, kecuali dengan akal.
Akal bagaikan landasan, sedangkan
syara bagaikan bangunan.” Begitu pula halnya, mengenai hubungan antara syariat
(fiqh) dan akidah (ilmu kalam) dan juga hakikat (tasawuf). Dalam kitab Ihya
Al-Ulum ad-din, dijelaskan bahwa sebelum mempelajari dan mengamalkan
tasawuf, orang harus memperdalam ilmu tentang syariat dan akidah (kalam)
terlebih dahulu secara tekun dan sempurna. Dalam hal ini, syariat dan ilmu
kalam sebagai landasan, sedangkan tasawuf laksana sebuah bangunan.
Anwar, Rosihan.ilmu tasawuf. bandung: pustaka setia, 2007.
Bakry,
Oemar. Akhlak Muslim. Bandung:
Angkasa Bandung, 1993.
Nasution, Harun.Falsafat
dan Mistisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1978.
Nata,Abuddin.Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo, 1997.
Suhendi, Hendi.Perspektif
Filsafat Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 1999.
Supriyadi,Dedi.Pengantar Filsafat ISLAM (lanjutan) Teori dan
Praktik. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2010.
Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy Al-. Falsafah Pendidikan Islam.
Jakarta: Bulan Bintang. 1979.
[1] Omar Mohammad
Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 179.
[2]Dedi Supriyadi,
Pengantar Filsafat ISLAM (lanjutan) Teori dan Praktik, (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2010), 136.
[3]Hendi Suhendi, Perspektif
Filsafat Islam (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1999), 223.
[4]Ibid.
[5]Ibid., 138.
[6]Oemar, Bakry, Akhlak Muslim (Bandung: Angkasa Bandung, 1999), 63.
[7]Ibid., 6.
[8]Rosihan Anwar, ilmu
tasawuf (bandung: pustaka setia, 2007), 91-92.
[9]Anwar, ilmu,
88.
[10]Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1997), 179-180.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar